Prolog
Perjalanan kali ini cukup unik. Kepentingannya bukan untuk liburan dan bukan untuk bisnis. Yang pergi juga cuma Diana sendiri di hari kerja biasa. Nah, supaya ga penasaran, silakan dibaca sampai selesai ya.
Kota tujuan kali ini adalah Ponorogo, kota kecil di dekat Madiun. Dari Jakarta, kita bisa naik kereta sampai Madiun saja, belum bisa sampai ke Ponorogo. Pilihan kereta eksekutif ada 3 : Gajayana, Brawijaya dan Bima. Waktu keberangkatan dan ketibaan hampir sama semua, cuma selisih masing-masing 1 jam saja. Berangkat dari Gambir sore/malam hari dan tiba tengah malam/subuh. Diana pilih Gajayana yang paling cepat perjalanannya dan jam tiba nya paling mendingan. Berangkat pk.18.40 dan tiba pk.03.20 pagi. Yang lain tibanya lebih awal, jam 1 dan jam 2 pagi, duuh.. lebih parah rasanya.


Tiket kereta dibeli secara online melalui traveloka dengan harga Rp.575.000,- untuk 1 way jika dibeli dari jauh-jauh hari. Makin mendekati hari H, harga tiket semakin mahal. Bisa sampai Rp.700.000,- untuk 1 way. Tempat duduk bisa langsung pilih saat pesan tiket online, mau di gerbong berapa dan di seat mana. Biasanya yang duluan terisi adalah gerbong tengah (no.4) dari ketersediaan 8 gerbong. Kalo mau agak sepi, pilih saja gerbong2 ujung.
Untuk akomodasi, Diana pilih hotel Amaris. Satu-satunya chain hotel yang ada di Ponorogo. Lokasinya juga di atas mal, jadi lumayan lah bisa mudah beli makanan atau ambil uang di ATM. Pesan dari tiket.com saat ada promo, harganya sekitar 355 ribu per malam, sudah termasuk sarapan untuk 2 orang.
Before Day 1
Berangkat dari Serpong menuju Gambir butuh perjuangan nih, selain macet juga harus berstrategi menembus ganjil genap. Tiba di Gambir kita print dulu tiketnya di mesin yang tersedia. Masukkan kode booking yang sudah didapat saat pesan secara online, nanti keluar tiketnya. Tiket dan KTP ditunjukkan ke petugas supaya kita bisa masuk ke area dalam stasiun, untuk kemudian kita naik ke lantai atas. Jadi yang bisa masuk ke area dalam hanya penumpang kereta dan porter.
Sekitar jam 18.15, kereta sudah tiba di Gambir. Jadi penumpang sudah bisa naik kereta lebih awal karena ini adalah stasiun pertama dari jalur kereta Gajayana rute Jakarta-Malang. Keretanya nyaman dan bersih. Toilet ada 2 macam, jongkok dan duduk, bisa pilih saja.
Untuk kali ini penumpang tidak terlalu banyak, jadi di gerbong Diana paling terisi hanya seperempatnya saja dari kapasitas 50 seat. Sekitar jam 10 malam, lampu kereta bagian tengah dimatikan. Jadi lumayan gelap dan nyaman untuk tidur. Hanya saja kursi bagian ujung (no seat awal dan akhir) tetap terang benderang karena lampu bagian ujung tetap menyala terang.
Untuk hiburan bisa bawa saja laptop atau hp disambungkan ke charger di kereta dan pasang earphone. Sementara untuk tidur, sebetulnya bisa saja, hanya setiap kereta berhenti di stasiun tertentu, maka akan ada pengumuman yang umumnya membuat penumpang (termasuk Diana) terbangun. Ada selimut yang dibagikan untuk penumpang. Nanti beberapa saat sebelum tiba di stasiun tujuan, penumpang akan dibangunkan untuk petugas mengambil selimut. Jadi bagus juga, alarm manual, tidak takut kelewatan stasiun tujuan.
Day 1
Subuh pk.03.20 kereta tiba tepat waktu di Madiun. Dari Madiun ke Ponorogo ada 2 opsi, naik mobil online (grab/gocar) atau shuttle bus DAMRI. Untuk shuttle bus adanya jam 4 pagi di stasiun Madiun dan akan tiba di Amaris Ponorogo jam 6 pagi. Perjalanan sekitar 2 jam itu karena berhenti di beberapa titik dahulu, seperti terminal. Ini opsi yang oke dan murah sih. Hanya saja karena jam 03.30 stasiun sudah sepi banget dan Diana agak pegal2 karena perjalanan di kereta, jadi akhirnya pilih gocar saja deh, biar cepat sampai hotel.
Gocar tidak boleh masuk stasiun, jadi Diana mesti keluar stasiun dan jalan nyebrang ke depan polsek. Di situ mobilnya sudah menunggu. Perjalanan dengan mobil ke Ponorogo hanya sekitar 45 menit karena jalanan sangat sepi. Iyalah, jam 4 pagi, hehe.. Tiba di Amaris sebetulnya bisa early check-in dengan nambah bayar, tapi karena hari itu kamar hotel full jadi tidak bisa. Oke, Diana istirahat saja dulu di lobby hotel. Bisa sikat gigi dan beres2 dulu di toilet hotel. Sambil makan bekal, tiduran, nonton youtube, menunggu dijemput. Koper dititipkan dulu di lobby, karena check-in nya baru nanti siang.
Akhirnya jam 7.30 Diana dijemput juga. Dijemput siapa ? Nah, ini ceritanya kenapa Diana kali ini berkunjung ke Ponorogo. Jadi keluarga Diana itu punya 1 pembantu/pengasuh dari sejak Diana lahir sampai usia 35 tahun. Namanya Bu Katinem. Semua teman2 masa kecil Diana pasti kenal beliau, hehe.. Namun 10 tahun lalu, beliau terkena stroke dan harus pulang kampung permanen karena ga bisa lagi membantu di keluarga Diana. Hubungan dengan beliau masih sangat baik, namun karena beliau ga bisa baca-tulis, maka kami ga bisa komunikasi melalui chat handphone secara langsung. Bisanya telpon manual melalui keponakannya di kampung yang namanya Sri. Nah, mbak Sri dan suaminya (mas Taufik) lah yang jemput Diana di hotel.
Setelah dijemput, Diana diajak sarapan nasi pecel “Pojok” yang katanya legendaris di Ponorogo. Harganya bikin kaget orang Jakarta. Nasi dengan pecel dan tempe hanya 8 ribu saja. Tambah empal 10 ribu, total 18 ribu sudah kenyang ! Bumbu pecel di sini hanya 1 macam dan pedas. Jadi untuk yang tidak suka pedas, bisa minta dipisah saja bumbunya. Alas makanan nya pun masih pake daun pisang, otentik.
Sudah kenyang sarapan, lanjut ke rumah mbak Sri di Balong. Rumahnya bersebelahan dengan orangtua dan adiknya. Ayah dari mbak Sri ini adalah adik dari Bu Katinem, namanya Pak Kadimin. Di sini betul-betul berasa di desa ya. Ada banyak sawah, sapi, kambing, ayam, wuiiih seru juga. Di depan rumah ada kelapa kuning. Mbak Sri langsung petik dan belah untuk Diana bisa minum airnya. Fresh banget nih !
Ternyata Diana juga dijamu makan siang nih. Nasinya fresh dan pulen banget, hasil panen dari sawah sendiri. Sampai akhirnya dibawain loh untuk pulang ke Jakarta berasnya. Duuh, terima kasih banyak mbak Sri. Mbak Sri juga masak ayam dan oseng sayur yang semuanya enak ! Sekarang waktunya ke rumah Bu Katinem. Kali ini Diana dibonceng pakai motor sama mbak Sri.
Sempat mampir dulu sebentar ke Kantor Kepala Desa Balong, ga jauh dari rumah Bu Katinem. Ada gapuranya kayak di Bali, lalu di dalamnya ada aula penuh unsur kayu. Luas dan bagus ya, ada gamelan nya juga. Cocok buat tempat kumpul atau kegiatan warga desa dalam jumlah banyak.
Nah, akhirnya sampai ke tujuan. Di rumah ini tinggal 2 kakak-adik, yaitu Bu Katinem (kakak) dan Bu Semi (adik). Mereka hidup berdua saja karena memang tidak ada suami/anak. Bu Semi ini dulu pernah kerja membantu di Bandung, di keluarga kakaknya mama Diana. Jadi Diana juga kenal baik dengan beliau. Bu Semi juga pernah terkena stroke dan sekarang sudah kesulitan untuk jalan keluar kamar. Jadi aktivitas sehari-hari dihabiskan di ranjang saja. Kalo Bu Katinem walau pernah kena stroke tapi terus berlatih jalan, sehingga sekarang sudah cukup sehat dan masih bisa jalan perlahan dengan bantuan tongkat.
Ngga nyangka ya bisa ketemuan lagi setelah sekian lama. Karena mereka ga memungkinkan untuk ke Jakarta/Bandung, maka Diana yang berinisiatif untuk berkunjung ke desa mereka deh. Senang sekali Diana bisa bertemu dengan keluarga besar mereka di rumah dan kampung halaman mereka.
Acara selanjutnya adalah memboyong Bu Katinem ke hotel tempat Diana menginap. Iya, Diana menginap 2 malam di Hotel Amaris Ponorogo. Karena Diana pergi sendirian, maka ada jatah untuk 1 orang lagi di kamar. Pas deh, sekalian bisa ngobrol lebih banyak dengan Bu Katinem. Jeff kali ini memang tidak ikut, karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
Malam ini dihabiskan dengan Diana dan Bu Katinem berbagi cerita, juga video call dengan keluarga Diana yang lain yang kenal dengan beliau. Maklum, Bu Katinem ini termasuk selebritis di keluarga besar Diana, haha.. semua pastinya kenal beliau. Makan malam makan bekal yang dibawa dari Jakarta, jadi aman ga usah keluar kamar lagi.
Day 2
Pagi hari sarapan di hotel tergolong lengkap sih. Ada nasi goreng, mie goreng, lauk, bubur ayam, gorengan/rebusan, roti, pukis, egg station, buah, puding. Pilih saja sesuai selera.
Siangnya mbak Sri datang bersama anaknya bawain sate ayam khas ponorogo yang terkenal : Tukri, nama pemiliknya. Sate ini langganan Jokowi dan SBY loh. Banyak juga artis dan pejabat yang suka makan sate ayam ini. Wah, jadi penasaran.
Rasanya enak, bumbunya seperti biasa agak pedas tapi ga terlalu sih. Ukuran daging nya besar dan kualitasnya bagus. Gaya tusuknya seperti Diana pernah makan waktu trip Costa Cruise Singapore, jadi daging ayam utuh ditusuk. Ada juga sih yang berupa potongan, tapi potongannya besar2. Harganya 36 ribu untuk 10 tusuk dan lontong, lumayan mahal nih. Tapi makan tidak sampai 10 tusuk saja sudah kenyang banget ini. Mana dibeliin nya banyak, akhirnya buat makan siang dan malam deh ini. Kenyang !
Sekalian juga siang ini disempatkan mampir jalan2 ke area bawah hotel. Ada tempat bermain anak dan beberapa kios jual makanan, matahari, hypermart dan ada California Fried Chicken (CFC). Ternyata di Ponorogo tidak ada Kentucky Fried Chicken (KFC), adanya di Madiun kalo mau makan KFC.
Hari ini Bu Katinem banyak nonton TV di kamar. Maklum, beliau di rumahnya tidak ada TV. Dulu pas masih kerja di rumah Diana juga hobi nonton TV sih, hehe.. Ya sudah, puas2in deh. Karena besok sudah akan pulang lagi ke rumah. Kasian Bu Semi kalo lama2 ditinggal sendirian di rumah.
Day 3
Pagi ini Diana mengajak mbak Sri dan suaminya (mas Taufik) untuk sarapan bareng di hotel. Untuk sarapan, jika ada tambahan orang bisa tambah bayar 50 ribu per orangnya. Sudah puas sarapan, kami check-out dan mengantar Bu Katinem pulang ke rumahnya. Pas banget mas Taufik ini kalo hari Jumat tidak bekerja. Jadi bisa seharian menggunakan mobil sampai nanti sore menuju ke stasiun kereta di Madiun.
Setelah salam perpisahan sama Bu Semi dan Bu Katinem, Diana diantar jalan-jalan ke Bendungan Bendo Ponorogo. Bendungan ini diresmikan oleh Presiden Jokowi tahun 2021. Bendungan ini menyediakan irigasi untuk 7.800 hektar sawah dan juga pasokan air baku 370 liter per detik serta bisa mengurangi banjir, mereduksi banjir sebesar 31 persen atau 117 meter kubik per detik. Selengkapnya silakan browsing sendiri ya di internet.
Setelah melihat bendungan yang luas ini, kami mampir makan siang di Bakso Lumayan. Semangkok isi 6 bakso, terdiri dari bakso polos, bakso isi daging cincang dan bakso isi telur puyuh. Pakai mie kuning dan bihun. Harganya 8 ribu rupiah saja. Rasanya enak ! Yang menarik adalah tambahan yang disediakan di meja. Selain telur puyuh matang dan tahu goreng, ada telur asin matang juga. Jadi rupanya cara orang Ponorogo makan : telur asin nya dikorek trus dimasukin ke mangkok bakso nya. Waduh, ga pernah kebayang tuh makan bakso berkuah pake telur asin ? Oke deh… kearifan lokal ini, haha.. Selama ini Diana cuma pernahnya makan rawon pakai telur asin.
Lanjut kembali ke rumah mbak Sri untuk istirahat dan siap2 ke stasiun Madiun. Perjalanan ke Madiun dari Ponorogo diperkirakan bisa 1,5 jam untuk sore hari. Karena ada beberapa ruas jalan yang biasanya macet. Jadi daripada terlambat lebih baik berangkat lebih awal. Sebelum ke stasiun, kami mampir dulu untuk ambil Sate Ponorogo langganan keluarga mbak Sri. Bukan yang Tukri, namanya Sate ayam Putri Kembar.
Sate yang ini lebih mirip sate pada umumnya, dengan tusukan daging kecil2. Untuk rasa, ini enak banget ! Daging ayamnya spt ayam kuning, jadi sudah dibumbui dan gurih. Diana dan keluarga di Tangerang semuanya suka banget nih. Jika dibawa ke luar kota, bumbunya dibawakan berupa bubuk. Jadi nanti tinggal dicampur air. Praktis banget nih. Dibawakan 2 macam bumbu, yang manis dan pedas. Mantap, bumbu yang manisnya enak banget, yang pedasnya betul pedas banget.
Kereta berangkat dari Stasiun Madiun agak terlambat, mungkin karena hujan lebat. Kali ini keretanya penuh sekali, di gerbong Diana tidak ada bangku kosong. Tapi kemudian penumpang mulai turun di stasiun, hingga paling banyak turun di stasiun Yogyakarta. Selepas Yogya, kereta kembali kosong, di gerbong Diana paling hanya seperempat saja yang terisi. Diana tiba di stasiun Gambir dengan selamat dan membawa banyak oleh-oleh dari keluarga mbak Sri dan banyak kenangan manis selama di Ponorogo.
Epilog
Perjalanan ini menjadi salah satu perjalanan yang berkesan bagi Diana, karena Diana belum pernah pergi sendirian naik kereta api ke destinasi sejauh ini. Diana naik kereta api domestik terjauh itu sampai Semarang, itu pun dengan teman kantor dulu urusan pekerjaan. Kalo sendirian paling pernahnya naik kereta Jakarta-Bandung aja. Mana naik kereta malam yang sampai di tujuan subuh, ke tempat yang belum pernah dikunjungi. Butuh nyali tersendiri untuk melakukan perjalanan ini sebetulnya.
Tapi Diana punya prinsip bahwa penyesalan itu lebih banyak terjadi karena hal yang tidak kita lakukan daripada hal yang kita lakukan. Jadi, ketika ada pemikiran yang berdampak positif, why not ? Just do it ! Setiap kali melakukan hal seperti ini biasanya walau deg2an, hasilnya selalu memuaskan ! Bukankah kebanyakan kita ragu untuk melakukan apa yang sebetulnya kita bisa lakukan hanya karena belum pernah mencoba ? Kalo ga pernah coba, kapan bisa dan pernahnya ? Hayooo…
Semua “kenekatan” ini terbayarkan ketika melihat sambutan hangat dari keluarga besar Bu Katinem di Ponorogo. Melihat wajah terkejut dan gembira dari mereka semua, ketika bertemu Diana, orang kota yang rasanya ga akan mungkin datang jauh-jauh ke desa di Ponorogo. Senang bisa melihat Bu Katinem dalam kondisi yang relatif sehat, semangatnya tidak banyak berubah dengan 10 tahun lalu. Masih bisa ngobrol banyak tentang berbagai kenangan saat beliau masih tinggal bersama Diana. Kita tidak tahu kapan bisa bertemu lagi, tapi paling tidak ada moment yang bisa dikenang. Moment reuni di kampung halaman Bu Katinem, pengasuh yang telah setia bekerja di keluarga Diana selama 35 tahun. Tidak ada hubungan darah, tapi sudah seperti keluarga sendiri. Thank you all !